Batas-Batas
Toleransi Antar Umat Beragama
Allah SWT menciptakan umat manusia di muka bumi ini, diawali
dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dari sini kemudian lahir
berbagai umat manusia yang berkelompok dalam berbagai suku dan bangsa. Itu
semua adalah kodrat Allah, sunnatullah, dan memberikan pelajaran yang sangat
berharga bagi kita. Juga merupakan suatu ciptaan Allah yang bagi umat beriman
mengandung suatu ujian, bagaimana menyikapi perbedaan dan menyikapi adanya
berbagai suku dan bangsa khususnya dalam kontek bangsa Indonesia.
Islam adalah agama yang sangat toleran. Rasulullah SAW telah memberi contoh
bagaimana bersikap toleran dalam mengarungi kehidupan ini. Dalam kaitan yang
berhubungan dengan antar sesama manusia yang berbeda suku, bangsa, bahkan
berbeda agama. Karena itulah maka pada zaman Rasulullah SAW Islam dikenal agama
yang sangat toleran dan agama yang dihargai oleh para ilmuwan yang tahu persis
tentang Islam. Karena memang Allah SWT menjadikan Islam sebagai rahmat di alam
ini. (QS Al Ambiya : 107) dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Islam mengajarkan agar kita menjamin keselarasan kehidupan dengan lingkungan,
apalagi dengan sesama manusia. Toleransi yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW
terhadap agama-agama lain sangat jelas sebagaimana terungkap dalam sejarah.
Pernah suatu saat para pendeta dari agama Nasrani datang kepada Rasulullah SAW
untuk mengetahui tentang agama Islam. Dalam beberapa hari mereka hidup bersama
umat Islam. Pada suatu saat sampailah mereka pada hari Ahad, hari dimana bagi
orang Nasrani adalah hari beribadah untuk mengagungkan Tuhannya. Rasulullah SAW
memberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan itu. Namun di lingkungan umat
Islam itu tidak ada gereja untuk mereka gunakan melakukan ritual ibadah, maka problem
seperti ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW
merelakan dan mempersilakan para pendeta itu untuk melakukan ibadah sesuai
dengan keyakinannya di masjid.
Bukan hanya pada zaman Rasulullah saja terjadi seperti itu, pada zaman Umar ibn
Khathab, yang di dalam sejarah Islam terkenal dengan zaman keemasan. Pada saat
itu, ditaklukkannya kerajaan Persia, kerajaan Romawi, sehingga Islam berkembang
sangat pesat pada saat itu. Bukan hanya meluas ke Timur, tetapi juga ke Barat.
Di sana ditemukan beberapa umat yang berlainan agama. Kalau Umar pada saat itu
ingin berlaku semena-mena, maka tidak menunggu waktu lama, mereka bisa dikikis
habis. Tetapi, Umar malah memberi penghormatan kepada mereka, dan melindungi
mereka untuk melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka, dengan catatan
mereka tidak memusuhi, dan menjadikan Islam sebagai musuh untuk dihancurkan.
Demikian juga yang terjadi pada kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya.
Itulah sikap yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya. Persoalannya
adalah ketika kita sebagai bangsa Indonesia, ada dua sisi yang menyikapi
perbedaan agama, dengan sikap yang sama-sama ekstrim. Di satu sisi, mereka
melihat orang lain mengikuti agama kita, misalnya ketika hari Raya Idul Fitri,
banyak orang lain yang mengikuti, dengan cara menghormati dengan mendatangi ke
rumah-rumah. Mereka mengucapkan selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Dalam
kondisi yang seperti itulah, maka ada kebingungan di antara umat Islam, yang
tidak faham betul tentang aqidah, maka dia juga ingin melakukan hal yang sama,
di saat orang lain merayakan hari rayanya, dia datang ke tempatnya. Sisi
lainnya, juga ada sebagian umat Islam, yang menganggap, bahwa saling
menghormati dan saling menghargai suatu agama adalah hal yang wajar, bahkan
mungkin sampai-sampai menganggapnya, semua agama datangnya dari Tuhan dan semua
itu merupakan suatu kebenaran, maka semuanya adalah suatu kebenaran. Maka
terjebaklah mereka dalam konsep pluralisme. Pluralisme dalam kontek aqidah
tidak dibenarkan dalam Islam. Pluralisme sebagai aliran filsafat menganggap,
bahwa semua agama benar, semua bentuk ubudiyah yang dilakukan masing-masing
pemeluk agama adalah jalan yang menuju kepada titik yang sama.
Sebagai umat Islam diajari dengan tegas mana hal yang terkait dengan aqidah,
dan ubudiyah, dan mana yang terkait dengan persoalan social dan budaya. Terkait
dengan aqidah Allah mengajarkan dengan tegas sikap umat Islam dengan umat yang
lainnya. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surah Al Kaafiruun : 1-6 yang maknanya
: 1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, 2. aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah. 3. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.4. dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku."
Sebagaimana ditegaskan pada ayat di atas, bahwa dalam memahami pluralitas
kehidupan, kita harus melihat bahwa hubungan dengan umat lain adalah sebagai
komunikasi sosial. Sesama umat manusia boleh mendatangi umat lain ketika
diundang dalam pernikahan. Dengan umat lain, kita boleh membantu ketika mereka
membutuhkan bantuan sosial, bahkan sebagaimana dicontohlan Rasulullah SAW
mereka dilindungi, dan dijamin keamanannya walaupun hidup dalam komunitas umat
Islam. Inilah yang disebut dengan Islam rahmatan lilaalamiin. Ayat di atas
adalah sikap yang harus diambil umat Islam yang diajarkan Allah SWT, yang pada
saat itu dengan dalih toleransi Rasulullah SAW diminta oleh kaum Kafir Quraisy untuk
sehari melakukan ibadah sesuai ajaran Islam, dan sehari kemudian menyembah
sesembahan mereka. Tetapi, dengan tegas menolak itu dan surat Al Kafiruun
itulah jawabannya.
Karena itu, dalam kontek keyakinan, umat Islam harus tegas, tetapi dalam hal
sosial, maka umat Islam harus toleran. Maka di sinilah batasan-batasan
toleransi itu. Terkait dengan kemanusiaan, pemahaman boleh, bahkan mengajak
mereka untuk berdialog untuk mencari titik temu, tentang mana yang boleh kita
lakukan dan tidak. Maka ketika ada orang lain, mengajak untuk mengikuti
ibadahnya, atau mereka mengikuti ibadah kita, kita juga harus tegas menolak dan
melarangnnya. Jadi tidak ada istilah basa-basi atau sungkan, dalam kaitannya
dengan aqidah. Tetapi dalam bahasa sosial, kita harus bisa menjadi orang yang
menghormati orang lain, melindungi orang lain, walaupun mereka berbeda
keyakinan. Karena dengan sikap seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW
inilah yang menjadikan Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bahkan tidak
sampai dua abad, Islam telah tersebar ke dua pertiga dunia. Hal ini disebabkan
oleh ketegasan Rasulullah SAW dan karena sikap toleransi Rasulullah SAW.
0 komentar:
Posting Komentar